vendredi 5 janvier 2007

Amblesan di Porong Itu Sudah Terukur Secara Geodetik

Penasaran soal penurunan Lokasi pengeboran di Porong, Malam itu tanggal 20 September lalu IATMI-KL mengundang Prof Hassanudin, Dosen Geodesi ITB. Ya Professor yg bertubuh kecil tetapi energik ini sedang mengadakan kunjungan di Subang atas undangan UITM. Prof Hasanuddin, yang memperoleh berbagai “award”
ini, berbagi ilmu terutama tentang GPS dan penggunaannya kepada rekan-rekan Geoscience - Engineer IATMI-KL dalam acara IATMI-KL Talk. Dengan sabar beliau menjawab pertanyaan termasuk soal penurunan (amblesan di Porong).
Obrolan santai di Warisan Cafe di KL ini dimulai dari pemaparan teknologi GPS. perkembangan pesat mulai “dibuka” sejak bulan Mei 2000 itu terus menunjukkan
perkembangan pemanfaatan satelit-satelit yg sebelumnya untuk militer. Namun sejak dibukanya kode-kode sinyal yg dikirimkan oleh satelit-satelit ini pada bulan May 2006, menjadikan akurasi pengukuran GPS geodetik menjadi semakin banyak dimanfaatkan untuk kebutuhan geodinamik dalam orde kete;itian hingga mili-meter. Iya bener, hingga milimeter !
Ok beliau menjelaskannya begini …. menurut Pak Hasanudin ada 3 macam tipe alat GPS, ini didasarkan atas masing-masing tingkat ketelitian (posisi) yang berbeda-beda.
Tipe alat GPS pertama adalah tipe Navigasi (Handheld, Handy GPS). Tipe nagivasi ini yang sering kita lihat dijual ditoko-toko glodok harganya relatif murah, sekitar 1 - 4 juta rupiah. Beliau cerita ketelitian posisi baru dapat mencapai 3 sampai 6 meter … waah selisih 3 meter ya udah lumayan to, ndak bakalan nyasar kalau jalan puter-puter kota … emang ke mall mau bawa GPS … gaya kaleee.
Tipe alat GPS yang kedua adalah tipe geodetik single frekuensi (tipe pemetaan), yang biasa digunakan dalam survey dan pemetaan. Tapi kalau pemetaan geologi kayaknya navigasi saja cukup, salah-salah ngeplot titik ndak apa-apa
Tipe terakhir adalah tipe Geodetik dual frekuensi yang dapat memberikan ketelitian posisi hingga mencapai milimeter. Wadddduh … penggaris kayu jaman aku SD udah kagak laku disini yak ! Tipe ini biasa digunakan untuk aplikasi precise positioning seperti pembangunan jaring titik kontrol, survey deformasi, dan geodinamika. Harga receiver tipe geodetik cukup mahal, mencapai ratusan juta rupiah untuk 1 unitnya. Halllah… apa ya aku beli buat pengganti penggaris segitiga to … ndak ah .. ini buat beliau yg di geodesi kata bliau juga buat yang gelo .. upst !
Tapi tipe ketiga inilah yg dipakai beliau dalam mengukur defoirmasi yg ada di lokasi semburan lumpur di Sidoarjo beberapa bulan lalu itu.
“Trus amblesan itu gimana Dhe ?” “Haiyak …. ini sudah ndak sabaran, belajar dasarnya dulu nape ?”
Dengan teknik pengukuran GPS geodetik itulah Pak Hasanuddin beserta tim dari Geodesi ITB melakukan pengukuran. Dibawah ini gambar disekitar lokasi amblesan yg dibuat pada bulan agustus lalu.
Warna biru muda mengarah kebawah itu menunjukkan besarnya penurunan. Terlihat dibagian tengan memiliki garis panah terpanjang, itu menunjukkan besaran penurunan terbesar. Garis panah warna hitam menunjukkan arah pergerakannya. Jadi terlihat dengan jelas bahwa arah
Garis-garis dengan warna pelangi itu menunjukkan besarnya gaya gravitasi. Itu menunjukkan daerah yg memilki densitas rendah dengan warna biru. Artinya kemungkinan daerah berwarna itu merupakan tempat yang sangat mungkin akan ambles. Garis hitam bergerigi seperti sisir itu memperlihatkan kemungkinan patahan atau garis-garis amblesan seperti yg digambarkan pada penampang seismik di tulisan sebelumnya
Seperti yg ditulis di harian Kompas “Desa Siring yang terletak sekitar 300 meter sebelah barat titik semburan, permukaan tanahnya turun sekitar 88 sentimeter dalam sebulan atau 2,5 cm per hari. Padahal, dalam standard normal, penurunan tanah maksimal 10 sentimeter per tahun.” Jadi satu persatu kejadian dari siklus pembentukan gunung lumpur sudah teramati di Desa Siring Sidoarjo. Tentunya munculnya hydrothermal sejak dua bulan lalu harus juga diamati secara teliti. Leyz